Awal
Mei, tepat Satu Mei Dua Ribu Dua Belas, tiba di Jakarta. Panggilan interview dipertengahan April lalu
membuat saya akhirnya menginjak ibukota untuk bekerja. Sebuah kota yang
benar-benar tak ingin untuk disinggahi menetap sebagai perantau, justru membuat
saya dipertemukan dengan takdir muallak ini. Apa boleh buat, seorang laki-laki
harus berani keluar dari zona nyamannya, melepaskan berbagai fasilitas yang
diberikan oleh orangtua, dan tentunya niat untuk mencicipi manis pahitnya
kehidupan ibukota adalah motivasi untuk belajar hidup mandiri. Dan dengan ini,
berarti saya pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah saya S2, mungkin
lain kali saja jika ada kesempatan, hehe.
Saya
sendiri memilih untuk stay di salah
satu kos-kosan yang berada di Kampung Bali karena pertimbangan jarak tempat
kerja yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu pun juga karena saya hanya
mempunyai beberapa jam saja untuk mencari tempat kos sebelum terbang kembali ke
Semarang. Dari beberapa kost yang ada disekitar Kampung Bali, saya rasa inilah
tempat yang cukup baik dari beberapa pilihan yang ada, dengan pertimbangan
harga yang agak ramah untuk pekerja newbie
di salah satu perusahaan media yang mana gajinya pun bisa dikatakan tidak lebih
dari cukup, kebanyakan orang bilang cuma mampir di kantong.
Satu
Mei itu, hari pertama berada disini, setelah perjalanan semalam dari Semarang
bersama dengan “Karjo” milik Wanti yang kini kabarnya sudah dijual karena sudah
jarang dipakai oleh si empunya yang sekarang sedang “sekolah” di BDP RCTI. Eh sepertinya akhir-akhir ini dia sedang sibuk menangani suatu program acara yang dikenal
dengan penonton bayaran lalalala yeyeyeye... Saya pun baru mulai masuk kerja
per 3 Mei 2012, jadi masih ada 2 hari untuk beristirahat sekaligus beradaptasi tanpa
melakukan autonomi ataupun mimikri dengan keadaan sekarang. Siang di awal bulan
Mei itu saya sempatkan untuk just looking
around di seputaran Sarinah, May Day
May Day!!! Saya baru ingat jika tanggal 1 Mei merupakan peringatan hari
buruh. Jalanan di MH Thamrin penuh dengan lautan buruh, entah mereka sudah
berjalan kaki jauh dari mana untuk menuju kearah Monas-Istana Negara.
Ahh...
saya tidak suka dengan kota ini, Jakarta
Is A Mistake, ucapan yang dari dulu sampai sekarang masih sering saya katakan. Macet dimana-mana, tak
bersahabat, semprawut, kejam, dan lain sebagainya semua ada disini. Benar kata
orang, kota ini sungguh kota yang cukup sempurna, apa saja ada disini... hehe. Saya masih ingat, sudah berapa kali saya mendengarkan keluhan para driver taksi di ibukota, mereka mengeluh, dalam keluh mereka seperti mengingatkan saya agar kembali saja ke kota asal, mencari pekerjaan di luar Jakarta, Jakarta yang diperkirakan nanti tahun 2015 akan lumpuh total dengan kemacetannya.
Bagaimana
dengan sisi pekerjaan disini? Hmm, saya tidak akan membahas tentang pekerjaan
yang saya rasakan disini, bagi saya sendiri, sharing tentang pekerjaan apalagi sampai mengeluh untuk dituangkan
dalam sosial media ataupun media internet itu tidak baik untuk diri sendiri
maupun perusahaan dimana kita tempati. Yah, namanya juga kerja pasti ada
baik-buruknya. Jika ingin sharing masalah
pekerjaan lebih aman sebatas ucapan lewat mulut saja sih, hahaha.
How about Kampung Bali? Yah inilah yang
ingin saya ceritakan lebih, ketika baru saja sampai di Jakarta, subuh itu
sempat berbincang dengan si om-nya Wanti. Beliau bilang jika perkampungan ini
dulu menjadi sarang narkoba. What??? Sarang narkoba, seketika itu saya pun
lemas. Setelah mulai bekerja, beberapa orang kantor ternyata juga mengatakan
hal yang sama, jika tempat itu dulu sering ditangkap para pengedar ataupun
pemakai narkoba disana. Mengetahui hal itu, saya pun langsung mencari kos-kosan
lain. Kebon Sirih, Kebon Kacang, dan beberapa tempat di seputaran Sarinah pun
saya telusuri, berharap mendapat tempat yang lebih baik, nyatanya juga yang ada
lingkungannya lebih kumuh. Sampai dengan di daerah Jalan Jaksa, isn’t very very
recommended untuk perantau seperti saya, terlebih disana banyak kos-kosan yang
menampung para “kucing” liar. Jika pun ada, harga kos-kosannya kurang
bersahabat untuk kuli tinta dan buruh majalah seperti saya ini.
Yahhh
setelah hampir 3 bulan masa percobaan disini, saya pun mulai nyaman tinggal di Kampung Bali ini, meskipun terkadang memang cukup ngeri, tetapi lambat laun
saya pun mulai bisa beradaptasi disini. Dan setidaknya selama ini kost saya ini sempat menampung teman-teman yang sempat main ke Jakarta, sebut saja Pakwo yang jauh-jauh kesini untuk mencari harapan, hingga Planet dan Kass supporter nekat yang datang khusus menonton Interisti berlaga di GBK, dan juga Ginanjar yang sedang magang di daerah Kelapa Gading. Beberapa warga maupun para penjual
makanan disini juga cukup ramah untuk diajak sekadar berbincang basa-basi.
Bulan ketiga ini pun tepat memasuki bulan Ramadhan, para penjual makanan makin
banyak tersebar, dan ternyata warga disini juga cukup banyak yang mengikuti
terawih berjamaah. Ohya, yang agak membingungkan terawih disini adalah urutan antara Kultum dengan salat Witirnya. Saya sempat mengikuti, malam itu terawih, witir dulu baru kemudian kultum, hari berikutnya kultum dulu baru witir, dan hari berikutnya lagi witir dulu baru witir . Teman satu kosan pun cukup beragam, ada yang dari Jogja,
Medan, bahkan Bali. Kehidupan kost untuk para pekerja jauh berbeda dengan
mahasiswa, meskipun kenal tetapi tidak cukup dekat, hal itu bisa dimaklumi
karena saya sendiri juga terkadang malas keluar kamar setelah selesai pulang kerja.
Dan yang
cukup membuat saya cukup betah disini karena banyak teman dari komunikasi yang juga
mengadu nasib disini, Mas Aji, Mbak Alin yang sudah cukup lama tinggal disini,
ada juga Alva, Sandra yang baru sekitar setahun lebih, lalu Wanti, Isma, Dwaya,
Emon, Esphe, Kembow, saya sendiri serta disusul Bunga yang menjadi perantau
baru, hehe. Ada juga para alumni angkatan atas lainnya, hanya saja saya belum
sempat bertemu dengan mereka. Dan sepertinya beberapa bulan kedepan akan tambah
lagi beberapa teman lainnya dari komunikasi.
Tak
terasa hampir tiga bulan disini, dan entah sampai kapan disini, suatu saat
nanti saya pun harus kembali ke Semarang, yah paling tidak mencari pekerjaan
disekitar Jateng ataupun Jogja. Sampai sekarang pun kota impian saya masih
sama, Jogja-Solo, kota yang cukup dengan kehidupannya yang nyaman dan
sederhana. Dan tentunya, alasan terkuat adalah karena orangtua. Kini mereka
berdua hanya tinggal berdua di rumah. Jika dari 5 anaknya yang kini keempat
anaknya sudah mempunyai keluarga masing-masing, secara tidak langsung saya lah
yang harus menjaga mereka di masa tuanya nanti. Cuma itu yang mungkin bisa saya
lakukan untuk membahagiakan mereka, tetapi untuk sementara ini saya harus explore terlebih dahulu, berpetualang
mencari pengalaman yang cukup hingga akhirnya kembali lagi. Harus, memang harus
kembali, coba saja apa yang akan kita rasakan jika dalam komunikasi telepon singkat
yang terjadi terselip kata-kata “dek,
gimana disana sehat? Papa sudah seminggu sakit, disini nggak ada kamu nggak ada
yang nganter ke dokter”...................................................................................................................................................................................................................................
Some text missing