Minggu, 29 Juli 2012

Jakarta Probation Story

Kampung Bali, Jakarta – Sebuah perkampungan yang berada ditengah hiruk pikuk Jakarta, terselip sisi lain suatu kehidupan di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit, tempat dimana para perantau tinggal untuk mengadu nasib di ibukota.

Awal Mei, tepat Satu Mei Dua Ribu Dua Belas, tiba di Jakarta. Panggilan interview dipertengahan April lalu membuat saya akhirnya menginjak ibukota untuk bekerja. Sebuah kota yang benar-benar tak ingin untuk disinggahi menetap sebagai perantau, justru membuat saya dipertemukan dengan takdir muallak ini. Apa boleh buat, seorang laki-laki harus berani keluar dari zona nyamannya, melepaskan berbagai fasilitas yang diberikan oleh orangtua, dan tentunya niat untuk mencicipi manis pahitnya kehidupan ibukota adalah motivasi untuk belajar hidup mandiri. Dan dengan ini, berarti saya pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah saya S2, mungkin lain kali saja jika ada kesempatan, hehe.

Saya sendiri memilih untuk stay di salah satu kos-kosan yang berada di Kampung Bali karena pertimbangan jarak tempat kerja yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu pun juga karena saya hanya mempunyai beberapa jam saja untuk mencari tempat kos sebelum terbang kembali ke Semarang. Dari beberapa kost yang ada disekitar Kampung Bali, saya rasa inilah tempat yang cukup baik dari beberapa pilihan yang ada, dengan pertimbangan harga yang agak ramah untuk pekerja newbie di salah satu perusahaan media yang mana gajinya pun bisa dikatakan tidak lebih dari cukup, kebanyakan orang bilang cuma mampir di kantong.

Satu Mei itu, hari pertama berada disini, setelah perjalanan semalam dari Semarang bersama dengan “Karjo” milik Wanti yang kini kabarnya sudah dijual karena sudah jarang dipakai oleh si empunya yang sekarang sedang “sekolah” di BDP RCTI. Eh sepertinya akhir-akhir ini dia sedang sibuk menangani suatu program acara yang dikenal dengan penonton bayaran lalalala yeyeyeye... Saya pun baru mulai masuk kerja per 3 Mei 2012, jadi masih ada 2 hari untuk beristirahat sekaligus beradaptasi tanpa melakukan autonomi ataupun mimikri dengan keadaan sekarang. Siang di awal bulan Mei itu saya sempatkan untuk just looking around di seputaran Sarinah, May Day May Day!!! Saya baru ingat jika tanggal 1 Mei merupakan peringatan hari buruh. Jalanan di MH Thamrin penuh dengan lautan buruh, entah mereka sudah berjalan kaki jauh dari mana untuk menuju kearah Monas-Istana Negara.

Ahh... saya tidak suka dengan kota ini, Jakarta Is A Mistake, ucapan yang dari dulu sampai sekarang masih sering  saya katakan. Macet dimana-mana, tak bersahabat, semprawut, kejam, dan lain sebagainya semua ada disini. Benar kata orang, kota ini sungguh kota yang cukup sempurna, apa saja ada disini... hehe. Saya masih ingat, sudah berapa kali saya mendengarkan keluhan para driver taksi di ibukota, mereka mengeluh, dalam keluh mereka seperti mengingatkan saya agar kembali saja ke kota asal, mencari pekerjaan di luar Jakarta, Jakarta yang diperkirakan nanti tahun 2015 akan lumpuh total dengan kemacetannya.


Bagaimana dengan sisi pekerjaan disini? Hmm, saya tidak akan membahas tentang pekerjaan yang saya rasakan disini, bagi saya sendiri, sharing tentang pekerjaan apalagi sampai mengeluh untuk dituangkan dalam sosial media ataupun media internet itu tidak baik untuk diri sendiri maupun perusahaan dimana kita tempati. Yah, namanya juga kerja pasti ada baik-buruknya. Jika ingin sharing masalah pekerjaan lebih aman sebatas ucapan lewat mulut saja sih, hahaha.

How about Kampung Bali? Yah inilah yang ingin saya ceritakan lebih, ketika baru saja sampai di Jakarta, subuh itu sempat berbincang dengan si om-nya Wanti. Beliau bilang jika perkampungan ini dulu menjadi sarang narkoba. What??? Sarang narkoba, seketika itu saya pun lemas. Setelah mulai bekerja, beberapa orang kantor ternyata juga mengatakan hal yang sama, jika tempat itu dulu sering ditangkap para pengedar ataupun pemakai narkoba disana. Mengetahui hal itu, saya pun langsung mencari kos-kosan lain. Kebon Sirih, Kebon Kacang, dan beberapa tempat di seputaran Sarinah pun saya telusuri, berharap mendapat tempat yang lebih baik, nyatanya juga yang ada lingkungannya lebih kumuh. Sampai dengan di daerah Jalan Jaksa, isn’t very very recommended untuk perantau seperti saya, terlebih disana banyak kos-kosan yang menampung para “kucing” liar. Jika pun ada, harga kos-kosannya kurang bersahabat untuk kuli tinta dan buruh majalah seperti saya ini.


Yahhh setelah hampir 3 bulan masa percobaan disini, saya pun mulai nyaman tinggal di Kampung Bali ini, meskipun terkadang memang cukup ngeri, tetapi lambat laun saya pun mulai bisa beradaptasi disini.  Dan setidaknya selama ini kost saya ini sempat menampung teman-teman yang sempat main ke Jakarta, sebut saja Pakwo yang jauh-jauh kesini untuk mencari harapan, hingga Planet dan Kass supporter nekat yang datang khusus menonton Interisti berlaga di GBK, dan juga Ginanjar yang sedang magang di daerah Kelapa Gading. Beberapa warga maupun para penjual makanan disini juga cukup ramah untuk diajak sekadar berbincang basa-basi. Bulan ketiga ini pun tepat memasuki bulan Ramadhan, para penjual makanan makin banyak tersebar, dan ternyata warga disini juga cukup banyak yang mengikuti terawih berjamaah. Ohya, yang agak membingungkan terawih disini adalah urutan antara Kultum dengan salat Witirnya. Saya sempat mengikuti, malam itu terawih, witir dulu baru kemudian kultum, hari berikutnya kultum dulu baru witir, dan hari berikutnya lagi witir dulu baru witir #:-s. Teman satu kosan pun cukup beragam, ada yang dari Jogja, Medan, bahkan Bali. Kehidupan kost untuk para pekerja jauh berbeda dengan mahasiswa, meskipun kenal tetapi tidak cukup dekat, hal itu bisa dimaklumi karena saya sendiri juga terkadang malas keluar kamar setelah selesai pulang kerja.


Dan yang cukup membuat saya cukup betah disini karena banyak teman dari komunikasi yang juga mengadu nasib disini, Mas Aji, Mbak Alin yang sudah cukup lama tinggal disini, ada juga Alva, Sandra yang baru sekitar setahun lebih, lalu Wanti, Isma, Dwaya, Emon, Esphe, Kembow, saya sendiri serta disusul Bunga yang menjadi perantau baru, hehe. Ada juga para alumni angkatan atas lainnya, hanya saja saya belum sempat bertemu dengan mereka. Dan sepertinya beberapa bulan kedepan akan tambah lagi beberapa teman lainnya dari komunikasi.




Tak terasa hampir tiga bulan disini, dan entah sampai kapan disini, suatu saat nanti saya pun harus kembali ke Semarang, yah paling tidak mencari pekerjaan disekitar Jateng ataupun Jogja. Sampai sekarang pun kota impian saya masih sama, Jogja-Solo, kota yang cukup dengan kehidupannya yang nyaman dan sederhana. Dan tentunya, alasan terkuat adalah karena orangtua. Kini mereka berdua hanya tinggal berdua di rumah. Jika dari 5 anaknya yang kini keempat anaknya sudah mempunyai keluarga masing-masing, secara tidak langsung saya lah yang harus menjaga mereka di masa tuanya nanti. Cuma itu yang mungkin bisa saya lakukan untuk membahagiakan mereka, tetapi untuk sementara ini saya harus explore terlebih dahulu, berpetualang mencari pengalaman yang cukup hingga akhirnya kembali lagi. Harus, memang harus kembali, coba saja apa yang akan kita rasakan jika dalam komunikasi telepon singkat yang terjadi terselip kata-kata “dek, gimana disana sehat? Papa sudah seminggu sakit, disini nggak ada kamu nggak ada yang nganter ke dokter”................................................................................................................................................................................................................................... Some text missing

Jumat, 27 April 2012

Karimunjawa, one of many paradise island in Indonesia


Dari dulu niat untuk kembali mengupdate blog hanya sampai dengan niat.
Banyak konsep baru, banyak ide tercetus, tapi hanya sekadar pikiran sesaat, tidak ada tindakan lebih. Sampai akhirnya saya paksakan untuk menuangkan satu dua kata terlebih dahulu, karena ide akan mengalir ketika kita sedang menulis. Seperti tulisan saya yang sebelumnya tentang membuat LED Cluster, kali ini saya juga hanya akan bercerita, tidak seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya yang sedang belajar menulis sebagai jurnalis jalanan, hehe...

Karimunjawa, 6-9 April 2011, sebuah rencana yang tertunda hampir setahun yang lalu.
Dan kini pun tulisan tentang petualangan ini juga baru tertuangkan setahun kemudian

Bisa dibilang ini merupakan awal petualangan saya dengan 7 teman saya seangkatan 2007 (Ote, Kusir, Rilwanu, Tofik, Geby, Wanti, Irsya) dengan berkonsep backpacker. Eh koq ada Irsya, Irsya? yang mana sih? hehe ternyata dia adek gahul dari angkatan 09, saya pun juga baru kenal dia juga karena Karimunjawa, yang mana saat disana si Irsya ini lebih sering berduaan sama Bang Opik, ehem.

Nah, jika biasanya traveling dengan menggunakan motor/mobil pribadi, baru kali ini saya melakukan perjalanan dengan transportasi umum. April itu adalah dimana saya sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir, saya sendiri adalah mahasiswa yang tak terencana, tidak pernah merencanakan sesuatunya lebih awal, lebih menikmati sesuatunya dengan pikiran “yang terjadi, terjadilah”. April itu, genap sebulan setelah saya menyelesaikan kegiatan KKN dan bulan dimana saya telah menyelesaikan laporan magang, yang berarti bagi saya adalah saatnya memikirkan “oh skripsi ya setelah ini”. Ha? Baru memikirkan skripsi, berarti belum sekalipun memikirkan mau mengambil skripsi tentang apa, konsepnya apa, temanya apa, apalagi metodenya, hahaha.

Karimunjawa kala itu belum seramai sekarang, meskipun sudah cukup terkenal, para pecinta traveling pun saya yakin sudah pernah kesana. Untuk kalangan anak komunikasi Undip pun, mungkin kita juga bukan tim pertama yang pernah kesana, tetapi ternyata setelah kita pergi kesana eh banyak juga yang baru tahu dan pada tanya-tanya, hehe. Jika dulu kapal Ferry dari penyeberangan masih cukup lenggang, kini pernah baca sebuah artikel berita yang mengatakan penyeberangan kesana selalu ramai, bahkan beberapa penduduk asli dari sana tidak bisa pulang karena kapal sudah dipenuhi para pelancong.

Menuju karimun, petualangan kami dimulai dengan menyewa angkot untuk membawa kami dari Semarang ke Jepara. Karena kami masih terbilang newbie, jadi sebelumnya kami putuskan untuk dibantu guide selama disana, sebut saja Alex, lelaki macho yang menurutku sudah cocok berperan menjadi penjaga pantai di film Baywatch, hehe. Dari Jepara, kami naik kapal Ferry dengan tiket kelas ekonomi seharga 28.500 rupiah, ada juga sih yang kelas bisnis dengan penyejuk ruangan di dalamnya, tapi buat apa toh akhirnya kami juga lebih menikmati angin laut di atas dek kapal. Di atas dek kapal ini juga banyak bule yang tidur santai seadanya tanpa menggunakan alas apapun, backpacker sejati sepertinya, hehe. Sempat ngeri ketika berada di tengah laut tanpa sinyal dari telepon genggam, apalagi bulan-bulan sebelumnya cuaca di Indonesia sedang tidak stabil. Tetapi perjalanan selama 6 jam ini sungguh luar biasa ketimbang naik kapal cepat dari Semarang yang hanya memerlukan waktu 3,5 jam yang tentunya akan membuat mabuk laut. Harga tiketnya pun jauh lebih mahal. Lapar di tengah laut? tenang saja di kapal ada yang menjajakan makanan dan minuman juga koq, yang pasti sih seperti lagunya Jamrud “namanya laut, pop mie pasti mahal...”

Akhirnyaaaa, sekitar jam3 sore kapal pun merapat ke dermaga, yakkk... untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Karimunjawa. Traveling kurang lengkap tanpa mengabadikannya dengan foto, you know lah, tak dipungkiri jika terkadang berwisata tidak hanya sekadar menikmati pemandangan, tapi juga untuk mengabadikan moment yang ada, hehe. Puas berfoto-foto disekitar dermaga, kami pun bergegas ke pondokan tempat kami tinggal selama 4hari 3 malam disini. Sore itu pondokan itu hanya kami gunakan untuk singgah dan tidur-tiduran sebentar saja. Setelah itu, kami pun segera bergegas mencari pantai untuk melihat sunset. Dengan berbekal mobil box hasil pinjeman entah itu dari mana, mas Alex menggiring kami menuju pantai. Sayangnya saat itu kami tak menemukan moment sunset yang bagus. Yah setidaknya kami tetap bisa menikmati petualangan ini dengan canda tawa, percayalah kemana pun kau pergi jika dengan teman-teman yang kau sayangi perjalanan kemana pun akan terasa menyenangkan. :D

Selesai menikmati pemandangan pantai di sore hari, kita kembali ke pondokan, kalau orang seminar bilang namanya ISHOMA, hehe. Setelah itu kami pun bergegas hunting tempat lagi, ide untuk berapi unggun pun muncul. Dan diantarlah kita ke sebuah cottage dengan lahan yang cukup luas, sayang sepertinya sudah tak terawat dan ditinggal begitu saja, sesaat setelah masuk ke gerbang utama cukup menyeramkan. Yah saat yang tepat untuk menakut-nakuti si Geby yang takut dengan namanya Mbak Kunti atau Momok. Dan seperti biasa, saya, Rilwanu, dan Ote pun lebih takut kalau Kusir marah karena gangguin Geby :)). Sambil menenteng kayu bakar, kami menyusuri setapak jalan Cottage hingga sampai di mulut pantai. Pesta pun dimulai ketika nyala api unggun mulai berpijar, ombak berbisik, dipermanis dengan genjrengan gitar seadanya. Selang beberapa jam kemudian, nyala api pun mulai redup, begitu juga dengan nyala mata kami, saatnya kembali ke pondokan untuk beristirahat, karena petualangan besok akan jauh lebih menyenangkan, sebuah harapan dalam hati.


Harapan hari esok akan menyenangkan itu sempat terguyur oleh hujan yang turun pagi itu, dingin, dingin sekali, seketika kesenangan itu hampir lenyap karena hujan. Mulai reda, hujan pun berganti dengan gerimis. Gerimis tak menyurutkan niat kami untuk melaut, beruntung angin bertiup lebih kencang mengusir awan hitam yang menyelimuti. Mas Alex, dibantu dengan temannya yang bernama Jabrik, menyiapkan berbagai peralatan yang akan dibawa ke kapal untuk melaut. Sebelum berangkat kami diberikan sedikit instruksi, pelajaran pertama pagi itu adalah cara menggunakan alat-alat untuk snorkeling, dan juga sedikit tips saat nanti snorkeling tentunya. Karena kami hanya berdelapan, jadi diputuskan ada satu rombongan lagi yang ikut dalam perjalanan ini, karena kuota perahu ini bisa mencapai 20 orang.

Untitled-2.jpgYaps, saatnya melaut. Oh iya, jangan lupa ya sebelum melaut gunakan sunblock secukupnya, hehe. Perhentian pertama adalah tempat penangkaran hiu, masuk gratis sih tapi kalau ikut berenang baru bayar, cuma 5000 rupiah. Jangan takut, hiu disini juga nggak se-ngeri seperti yang ada di film-film, hehe. Selain hiu ada juga ikan baracuda, penyu, dan juga bintang laut.

Puas bermain dengan hiu, kami pun melanjutkan perjalanan ke berbagai pulau kecil yang ada di Karimunjawa, sebelum sampai di pulau tujuan, kami berhenti di sekitar pulau tersebut untuk bermain snorkel, terumbu karang disini masih benar-benar alami. Selama dua hari petualang di karimun, kegiatan snorkeling ini dilakukan sebelum kami singgah di suatu pulau. Jadi selama disana kami bisa bermain snorkeling lebih dari 5 kali, dan bisa dibayangkan sudah berapa liter kami minum air laut ketika bermain snorkel, hehe.

Welcome to paradiseeee, yeah itulah yang bisa kami sorakkan ketika menginjakkan kaki di pulau berpasir putih kecoklatan ini. Saya sendiri lupa nama-nama berbagai pulau yang kami kunjungi saat di Karimun, seingat saya ada Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau Panjang kalau tidak salah dan masih banyak lagi, hehe. Hari pertama kita sempat berkeliling 3 pulau, sedang di hari kedua singgah ke 4 pulau. Namun kami tidak sempat menginjakkan kaki di tumpukan pasir putih yang berada di tengah-tengah laut di karimunjawa karena air yang pasang. Salah satu tujuan kami ke Karimun adalah untuk membuat film indie yang nantinya akan kami ikutkan di salah satu ajang dari produk jeans yang sudah cukup terkenal. Capek asik membuat film, bermain pasir, dan segala macamnya, perut pun mulai lapar, dan sepertinya pesta barbeque sudah disiapkan. Beragam ikan, cumi, dan udang disini masih benar-benar segar loh, karena langsung ditangkap hari itu juga ketika kami bermain snorkeling. Kebanyakan ikan yang berhasil ditangkap adalah jenis ikan Baronang, yang dagingnya, hmmm ajibbbbbb... Selesai makan, yuk bermain pasir dan air di tepian pantai lagi sepuasnya hingga kemudian berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Yah itulah kegiatan selama 2 hari disana sampai menjelang maghrib. Malamnya kami pergi ke alun-alun yang berada di tengah hiruk pikuk para penduduk setempat di Karimunjawa. Jangan kaget jika harga sepotong ayam goreng disini bisa 2x lipat harga ikan baronang sekitar 1 ons, cumi atau udang sepanjang 10 cm. Mungkin karena di pulau ini, ayam termasuk barang langka kali ya, haha. Oh iya! Disini juga ada tempat yang jual souvenir loh, siapa tau mau beli oleh-oleh untuk orang tersayang, cieeee... :D

Sepertinya itu saja yang bisa saya tuliskan tentang petualang kami di Karimunjawa, mungkin masih banyak beberapa cerita yang masih tersimpan, dan pastinya akan menjadi sebuah kenangan. Setelah euforia backpacker ini, kami pun sempat merencanakan akan kembali melakukan backpacker. Pulau Sempu, Bali, Bromo, Tanah Genteng, merupakan beberapa list yang pernah kami rencanakan.  Sayang, rencana tinggal rencana, kami pun mulai sibuk dengan rutinitas kami masing-masing. Hmm, dan akhirnya sebelum pergi dari Semarang setidaknya saya sempatkan untuk menuliskan petualangan ini. Saya pun juga sudah sempat menghabiskan waktu bersama teman-teman, meskipun ada beberapa rencana juga yang belum tersampaikan. Okay, maybe its time to lets say goodbye to find a better place before its too late :’)



Minggu, 16 Oktober 2011

Bikin LED Cluster? Do It Yourself!!!

Mau bikin LED Cluster lebih oke kayak gini?
kalo beli langsung jadi pasti mahal, mendingan bikin sendiri deh
why not... do it yourself!!!

Gak percumalah dulu sempet kuliah di teknik mesin,
kalo nggak kuliah disana mana mungkin kenal sama yang namanya Yuke
*nggak ada hubungannya sama masalah ngrakitnya kali ya
:ymsick:
gara-gara dia jadi pengen utak-utik ginian. Eh kayaknya dia juga
salah jurusan tuh, harusnya dia masuk teknik elektro kali ya
:))
soalnya dia yang lebih tau soal rangkaian listrik.

Oke...
nggak usah banyak basa-basi langsung aja kita bikin prakaryanya
:p
bahan-bahan yang dipake :
1. Lampu LED, sekitar 45 biji, buat jaga-jaga beli 50 biji, warna sesuai selera
2. 1 biji IC AN7805
3. 1 biji resistor 39 Ohm atau 47 Ohm 1 watt (terserah sih mau yang mana)
4. 2 diode 1 watt (1N4002) atau diatasnya
5. kabel secukupnya

Senjatanya yang dipake :
1. Hot Melt Glue Gun ato bahasa asingnya lem tembak
2. Solder plus tenol
3. Gunting, cutter, selotip
4. dan yang terakhir seperti biasa, KEBERANIAN!!!!

Terus ini cara perakitannya :
1. pertama-tama buka dashboard speedometer, keluarin sampe usus-ususnya,
ambil speedometer dan mulai utak-atik dalemannya :-ss


2. selanjutnya pasang LEDnya satu per satu sesuai titik yang akan dipasang


tiap LED yang dipasang pada titik itu direkatkan dengan lem tembak
3. setelah LED terpasang semua di speedometer/tachometer lapisi lagi dengan lem tembak
supaya lebih rekat dan bisa dijadikan salah satu penyebaran cahaya agar lebih rata
4. kaki-kaki LED juga mulai disambung-sambungkan sesuai dengan kutub-kutubnya
solder bagian kaki-kaki LED, tentunya kutub positif dengan positif, negatif dengan negatif
setelah itu sambungkan ke kabel yang nanti akan disambung ke bagian lainnya
bagiannya teruwet ini #:-s salah dikit bisa putus kaki-kakinya
yang ini bagian temperatur sama bensin
cukup di kasih 4 atau 6 LED saja :D


5. setelah semua bagian terpasang, sambungkan bagian-bagian tersebut
menjadi rangkaian seri. lalu sambungkan dengan IC, resistor, dan dioda tadi
6. setelah itu sambungan terakhir adalah ke lampu penerangan awal
lampu penerangannya kalo gak salah ada 4, pake satu aja yang lain disimpen :D
jangan sampe kebalik masangnya ya, biar hidup, kalo kebalik ntar gak mau nyala
7. rapikan kabel-kabel yang berantakan, katanya bersih sebagian dari iman :p
8. cek cek cek! cek nyala sebelum di pasang...
kalo udah nyala berarti siap di pasang, yeyeyeye 8-}

eits tunggu dulu, ini ada hal-hal yang diluar dugaan yang sempet gak diperkirakan sebelumnya
penentuan posisi LED pada speedometer atau tachometer jangan sampe ketatap mika aklirik
yang ada di bagian temperatur-bensin, gara-gara salah posisi harus geser-geser lagi #:-s
dan hati-hati megang tulangan speedometer, bisa-bisa kayak gini nih
ada yang patah, nasib nasib :))
sebegitu saja percobaan asal-asalan ini
masih perlu banyak belajar ini biar lebih oke :D

Senin, 21 Februari 2011

Atraksi Rodat Meriahkan Getasan Expo

Getasan – Atraksi Rodat yang merupakan kesenian dari Desa Sumogawe meriahkan acara Getasan Expo yang berlangsung di Kantor Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Minggu (20/02).


Kesenian yang menjadi alat pemersatu agama di Desa Sumogawe ini tampil atraktif dengan kepiawaiannya dalam menunjukkan kemampuannya bersatu padu membuat suatu bangunan dan tak kalah seru dengan berbagai atraksi ekstrim seperti melahap bola api, mengupas kulit kelapa dan memakan bohlam lampu.


Pak Mardi ketua dari Rodat Wahyu Tunas Muda ini berkata, “Kesenian Rodat ini merupakan salah satu cara yang kami lakukan dalam menjaga kerukunan antar umat beragama di Desa Sumogawe, khususnya di dusun Pringapus”. Kesenian ini juga tidak menggunakan unsur magic didalamnya, hanya ketrampilan yang diasah secara terus-menerus” jelasnya.

Getasan Expo yang diselenggarakan oleh Tim I KKN 2011 Undip ini merupakan puncak acara dari berbagai program dari Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berada di berbagai desa di Kecamatan Getasan.

Stand dari berbagai desa yang ada di Getasan Expo ini banyak menyuguhkan berbagai potensi dari desa yang ada di Getasan, antara lain dari bidang pertanian terdapat buah waluh dan ketela pohon. Selain itu, terdapat juga stand UMKM yang menyuguhkan berbagai hasil olahan produksinya seperti krupuk rambak, geplak waluh, dodol susu, pempek singkong, pancake, kripik gula, gula kacang, kripik gemblong dan lain sebagainya.






Naskah : Ahmad Faiq S. (@faiq_syukr)
Foto : Arief Rahman H. (@mametmumeti)

Rabu, 16 Februari 2011

Kesenian Desa Sumogawe

Keunikan dari Desa Sumogawe yang menjadi potensi desa ini juga berasal dari kebudayaan daerahnya, banyak kesenian yang dikembangkan di desa ini, diantaranya adalah seni tari reog dan kuda lumping (sorengan), seni prajuritan, wayang kulit, karawitan, ketoprak, dan juga rodat.

1. Seni Tari Reog
Seni tari reog ini sebenarnya berasal dari Magelang yang merupakan percampuran dari berbagai budaya yang ada seperti reog ponorogo dan kuda lumping, karena adanya percampuran budaya inilah kemudian dinamai dengan Seni Tari Reog Kreasi Baru. Salah satu kelompok yang mengembangkan seni tari reog ini adalah “Kridha Muda Tantama” yang diketuai oleh Pak Haryoto yang berasal dari Dusun Sumogawe.


2. Seni Prajuritan
Seni Prajuritan ini berasal dari Dusun Magersari yang merupakan asli kesenian Jawa. Seni Prajuritan ini sekarang sangat jarang sekali ditampilkan. Permasalahan utama dari kesenian ini yang sudah jarang tampil dikarenakan banyak kostum yang rusak, sungguh sangat disayangkan sekali mengingat Seni Prajuritan ini sempat menjadi juara I tingkat provinsi Jawa Tengah.


3.
Ketoprak
Ketoprak juga merupakan salah satu potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, mengingat dalam isi ceritanya sarat mengandung unsur nilai budaya. Salah satu cerita dari ketoprak ini tentang perebutan kekuasaan dimana didalamnya dibumbui lelucon dan atraksi yang tentunya sangat menghibur. Kelompok yang mengembangkan ketoprak ini salah satunya adalah “Ketoprak Poncho Budoyo”.





4.
Rodat
Rodat merupakan kesenian asli dari Desa Sumogawe, khususnya berada di Dusun Pringapus.
Kesenian rodat ini terdiri dari pemain instrument, pemain atraksi dan penari. Atraksi yang dilakukan ini diselingi dengan musik dari pemain instrumen. Jaman dahulu mereka mempunyai sekitar 60an lagu, tetapi kini hanya sekitar 30an lagu yang mereka hafal. Jumlah pemain dari rodat ini sekitar 50 orang
Dari beberapa kesenian tersebut seringkali hanya ditampilkan ketika ada tradisi Saparan di Desa Sumogawe. Tradisi Saparan ini merupakan tradisi setahun sekali yang diadakan di setiap dusun yang ada di Sumogawe yang merupakan suatu tradisi untuk keselamatan tiap dusun dan sekaligus bentuk dari rasa syukur karena kecukupan air.

Pada perkembangannya sekarang ini, sebagian besar kesenian yang ada hampir punah. Kendalanya pun hampir sama yaitu masalah dana untuk berbagai anggaran keluar yang menyangkut kesenian tersebut dan kurangnya minat generasi muda penerusnya akibat pergeseran budaya. Sangat disayangkan jika kebudayaan asli daerah ini yang seharusnya bisa berkembang menjadi kebudayaan nasional akan hilang begitu saja.

Naskah : Ahmad Faiq S. (@faiq_syukr)
Foto : Arief Rahman H. (@mametmumeti)