Minggu, 29 Juli 2012

Jakarta Probation Story

Kampung Bali, Jakarta – Sebuah perkampungan yang berada ditengah hiruk pikuk Jakarta, terselip sisi lain suatu kehidupan di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit, tempat dimana para perantau tinggal untuk mengadu nasib di ibukota.

Awal Mei, tepat Satu Mei Dua Ribu Dua Belas, tiba di Jakarta. Panggilan interview dipertengahan April lalu membuat saya akhirnya menginjak ibukota untuk bekerja. Sebuah kota yang benar-benar tak ingin untuk disinggahi menetap sebagai perantau, justru membuat saya dipertemukan dengan takdir muallak ini. Apa boleh buat, seorang laki-laki harus berani keluar dari zona nyamannya, melepaskan berbagai fasilitas yang diberikan oleh orangtua, dan tentunya niat untuk mencicipi manis pahitnya kehidupan ibukota adalah motivasi untuk belajar hidup mandiri. Dan dengan ini, berarti saya pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah saya S2, mungkin lain kali saja jika ada kesempatan, hehe.

Saya sendiri memilih untuk stay di salah satu kos-kosan yang berada di Kampung Bali karena pertimbangan jarak tempat kerja yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu pun juga karena saya hanya mempunyai beberapa jam saja untuk mencari tempat kos sebelum terbang kembali ke Semarang. Dari beberapa kost yang ada disekitar Kampung Bali, saya rasa inilah tempat yang cukup baik dari beberapa pilihan yang ada, dengan pertimbangan harga yang agak ramah untuk pekerja newbie di salah satu perusahaan media yang mana gajinya pun bisa dikatakan tidak lebih dari cukup, kebanyakan orang bilang cuma mampir di kantong.

Satu Mei itu, hari pertama berada disini, setelah perjalanan semalam dari Semarang bersama dengan “Karjo” milik Wanti yang kini kabarnya sudah dijual karena sudah jarang dipakai oleh si empunya yang sekarang sedang “sekolah” di BDP RCTI. Eh sepertinya akhir-akhir ini dia sedang sibuk menangani suatu program acara yang dikenal dengan penonton bayaran lalalala yeyeyeye... Saya pun baru mulai masuk kerja per 3 Mei 2012, jadi masih ada 2 hari untuk beristirahat sekaligus beradaptasi tanpa melakukan autonomi ataupun mimikri dengan keadaan sekarang. Siang di awal bulan Mei itu saya sempatkan untuk just looking around di seputaran Sarinah, May Day May Day!!! Saya baru ingat jika tanggal 1 Mei merupakan peringatan hari buruh. Jalanan di MH Thamrin penuh dengan lautan buruh, entah mereka sudah berjalan kaki jauh dari mana untuk menuju kearah Monas-Istana Negara.

Ahh... saya tidak suka dengan kota ini, Jakarta Is A Mistake, ucapan yang dari dulu sampai sekarang masih sering  saya katakan. Macet dimana-mana, tak bersahabat, semprawut, kejam, dan lain sebagainya semua ada disini. Benar kata orang, kota ini sungguh kota yang cukup sempurna, apa saja ada disini... hehe. Saya masih ingat, sudah berapa kali saya mendengarkan keluhan para driver taksi di ibukota, mereka mengeluh, dalam keluh mereka seperti mengingatkan saya agar kembali saja ke kota asal, mencari pekerjaan di luar Jakarta, Jakarta yang diperkirakan nanti tahun 2015 akan lumpuh total dengan kemacetannya.


Bagaimana dengan sisi pekerjaan disini? Hmm, saya tidak akan membahas tentang pekerjaan yang saya rasakan disini, bagi saya sendiri, sharing tentang pekerjaan apalagi sampai mengeluh untuk dituangkan dalam sosial media ataupun media internet itu tidak baik untuk diri sendiri maupun perusahaan dimana kita tempati. Yah, namanya juga kerja pasti ada baik-buruknya. Jika ingin sharing masalah pekerjaan lebih aman sebatas ucapan lewat mulut saja sih, hahaha.

How about Kampung Bali? Yah inilah yang ingin saya ceritakan lebih, ketika baru saja sampai di Jakarta, subuh itu sempat berbincang dengan si om-nya Wanti. Beliau bilang jika perkampungan ini dulu menjadi sarang narkoba. What??? Sarang narkoba, seketika itu saya pun lemas. Setelah mulai bekerja, beberapa orang kantor ternyata juga mengatakan hal yang sama, jika tempat itu dulu sering ditangkap para pengedar ataupun pemakai narkoba disana. Mengetahui hal itu, saya pun langsung mencari kos-kosan lain. Kebon Sirih, Kebon Kacang, dan beberapa tempat di seputaran Sarinah pun saya telusuri, berharap mendapat tempat yang lebih baik, nyatanya juga yang ada lingkungannya lebih kumuh. Sampai dengan di daerah Jalan Jaksa, isn’t very very recommended untuk perantau seperti saya, terlebih disana banyak kos-kosan yang menampung para “kucing” liar. Jika pun ada, harga kos-kosannya kurang bersahabat untuk kuli tinta dan buruh majalah seperti saya ini.


Yahhh setelah hampir 3 bulan masa percobaan disini, saya pun mulai nyaman tinggal di Kampung Bali ini, meskipun terkadang memang cukup ngeri, tetapi lambat laun saya pun mulai bisa beradaptasi disini.  Dan setidaknya selama ini kost saya ini sempat menampung teman-teman yang sempat main ke Jakarta, sebut saja Pakwo yang jauh-jauh kesini untuk mencari harapan, hingga Planet dan Kass supporter nekat yang datang khusus menonton Interisti berlaga di GBK, dan juga Ginanjar yang sedang magang di daerah Kelapa Gading. Beberapa warga maupun para penjual makanan disini juga cukup ramah untuk diajak sekadar berbincang basa-basi. Bulan ketiga ini pun tepat memasuki bulan Ramadhan, para penjual makanan makin banyak tersebar, dan ternyata warga disini juga cukup banyak yang mengikuti terawih berjamaah. Ohya, yang agak membingungkan terawih disini adalah urutan antara Kultum dengan salat Witirnya. Saya sempat mengikuti, malam itu terawih, witir dulu baru kemudian kultum, hari berikutnya kultum dulu baru witir, dan hari berikutnya lagi witir dulu baru witir #:-s. Teman satu kosan pun cukup beragam, ada yang dari Jogja, Medan, bahkan Bali. Kehidupan kost untuk para pekerja jauh berbeda dengan mahasiswa, meskipun kenal tetapi tidak cukup dekat, hal itu bisa dimaklumi karena saya sendiri juga terkadang malas keluar kamar setelah selesai pulang kerja.


Dan yang cukup membuat saya cukup betah disini karena banyak teman dari komunikasi yang juga mengadu nasib disini, Mas Aji, Mbak Alin yang sudah cukup lama tinggal disini, ada juga Alva, Sandra yang baru sekitar setahun lebih, lalu Wanti, Isma, Dwaya, Emon, Esphe, Kembow, saya sendiri serta disusul Bunga yang menjadi perantau baru, hehe. Ada juga para alumni angkatan atas lainnya, hanya saja saya belum sempat bertemu dengan mereka. Dan sepertinya beberapa bulan kedepan akan tambah lagi beberapa teman lainnya dari komunikasi.




Tak terasa hampir tiga bulan disini, dan entah sampai kapan disini, suatu saat nanti saya pun harus kembali ke Semarang, yah paling tidak mencari pekerjaan disekitar Jateng ataupun Jogja. Sampai sekarang pun kota impian saya masih sama, Jogja-Solo, kota yang cukup dengan kehidupannya yang nyaman dan sederhana. Dan tentunya, alasan terkuat adalah karena orangtua. Kini mereka berdua hanya tinggal berdua di rumah. Jika dari 5 anaknya yang kini keempat anaknya sudah mempunyai keluarga masing-masing, secara tidak langsung saya lah yang harus menjaga mereka di masa tuanya nanti. Cuma itu yang mungkin bisa saya lakukan untuk membahagiakan mereka, tetapi untuk sementara ini saya harus explore terlebih dahulu, berpetualang mencari pengalaman yang cukup hingga akhirnya kembali lagi. Harus, memang harus kembali, coba saja apa yang akan kita rasakan jika dalam komunikasi telepon singkat yang terjadi terselip kata-kata “dek, gimana disana sehat? Papa sudah seminggu sakit, disini nggak ada kamu nggak ada yang nganter ke dokter”................................................................................................................................................................................................................................... Some text missing

4 komentar:

  1. wiw....
    Ayooo kita nikmati selama masih ada waktu :")

    BalasHapus
  2. Sepertinya saya juga harus keluar dari zona nyaman semarang.... (saking nyamannya sampe belum mau lulus kuliah)

    BalasHapus
  3. @wanti: masih ada sekitar satu minggu lagi sebelum "pulang" lebaran loh, hehe

    @tian: jangan lupa bong, sebelum lulus harus punya prestasi di perfilman ya, hehe

    BalasHapus
  4. mas mau nanya, apakah masih ada kontak kos yg di kampung bali tsb?
    terima kasih

    BalasHapus